Senin, 17 Februari 2020

akhlak anak terhadap orangtua


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang muslim yang baik kita tentu tahu bahwa akhlak terhadap orang tua merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Karena, orang tua adalah orang yang mengenalkan kita pada dunia dari kecil hingga dewasa.Dan setiap orang tua pun pasti mempunyai harapan terhadap anaknya agar kelak menjadi anak yang sukses, berbakti kepada orang tua, serta menjadi lebih baik dan sholeh.
Maka dari itu, jika kita memang seorang muslim yang baik hendaknya kita selalu berbakti kepada orang tua, melakukan apa yang telah diperintahkan oleh orang tua, dan pantang untuk membangkang kepada orang tua.
Namun di zaman dewasa ini banyak dari kita seperti lupa terhadap kewajiban kita terhadap orang tua sebagai muslim yang baik, yaitu adalah kita harus memiliki akhlak yang sempurna terhadap orang tua kita. Makalah ini mengandung poin-poin penting bagaimana menjadi seorang anak yang berbakti terhadap orang tuanya. Maka selain sebagai upaya untuk mengerjakan tugas akhlak, saya berharap bahwa tugas makalah ini juga dapat dijadikan sebagai pengingat bagi setiap orang muslim yang membacanya  akan pentingnya akhlak terhadap orang tua.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian akhlak terhadap orangtua?
2.      Bagaimana seharusnya akhlak anak terhadap orangtua?








BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Akhlak Terhadap Orangtua
Akhlak berasal dari bahasa arab yaitu Al-khulq, Al-khuluq yang mempunyai arti watak, tabiat. Secara Istilah Akhlak menurut Ibnu MaskawiAkhlak adalah sesuatu keadaan bagi jiwa yang mendorong ia melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan.
Sedangkan yang dimaksud kedua orang tua adalah Bapak Ibu baik itu dari keturunan (Nasab) atau susuan, baik keduanya orang muslim ataupun kafir, termasuk juga kedua orang tua adalah nenek dan kakek dari kedua belah pihak.
Menurut Ad-Durjani Birul Walidain adalah mengormati dan berbakti kepada kedua orang tua.
Menurut Imam As-Syafii Birul Walidain adalah berbakti kepada orang tua baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal dunia.
Menurut Muhammad Abduh Birul Walidain adalah taat melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh kedua orang tua dalam kebaikan.
Menurut Ibnu Qoyim Birul Walidain adalah Berbakti kepada kedua orang tua semata-mata karena Allah SWT.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Akhlak kepada Orang Tua adalah Menghormati dan menyayangi mereka berdua dengan sopan santun dan berbakti kepada keduanya dalam keadaan hidup dan dalam keadaan sudah meninggal dunia.[1]
Rasulullah SAW menjelaskan dalam Haditsnya bahwa Kita harus menghormati kedua orang tua :
  Hormatilah Bapak dan Ibumu “.
1.      Keutamaan Berbakti kepada Orangtua
Rasulullah SAW Bersabda :
“Dari Abdullah Bin Mas’ud berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah: “Amalan apakah yang dicintai oleh Allah” Beliau menjawab: “Sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi: “Kemudian apa” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua”. Aku bertanya lagi: “Kemudian apa” Beliau menjawab: “Jihad dijalan Allah”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari Hadits tersebut bisa disimpulkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua itu merupakan amal perbuatan yang paling dicintai oleh Allah SAW.
2.      Contoh Berbakti pada Orangtua
Rasulullah SAW Bersabda :
“ Dari Asma binti Abu Bakar ia berkata:“Ibuku mendatangiku, sedangkan ia seorang wanita musyrik di zaman Rasulullah . Maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah dengan mengatakan: “Ibuku mendatangiku dan dia menginginkan aku (berbuat baik kepadanya), apakah aku (boleh) menyambung (persaudaraan dengan) ibuku” beliau bersabda: “ya, sambunglah ibumu”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari kutipan hadits di atas tentu kita dapat menyimpulkan bahwa Ibu adalah seseorang yang sangat penting dalam kehidupan setiap orang dan tak ada seorangpun yang memungkiri akan begitu besarnya jasa – jasa Ibu dalam hidup manusia.[2]
B.     Berbakti kepada Orang Tua Menurut Pendekatan Rasional
Karena semenjak awal bulan kehamilan dan menjelang kelahiranya kita dijaga keselamatan kita dengan taruha nyawa.Belaian kasih sayangnya memanjakan kita dan do’a nya selalu menyertai kita.Dan karena itulah Allah mewasiatkan kepada seluruh manusia agar berbuat baik kepada Ibu Kita.
Dan Ibu Kita merawat jasmani dan rohani kita sejak kecil secara langsung, maka bapak pun juga merawat kita, mencari nafkah untuk kita, membesarkan kita, mendidik kita dan menyekolahkan kita, disamping usaha ibu. Kalau mulai mengandung sampai masa muhariq (masa dapat membedakan mana yang baik dan buruk), seorang ibu sangat berperan, maka setelah mulai memasuki masa belajar, ayah lebih tampak kewajibannya, mendidik kita dan mempertumbuhkannkia menjadi dewasa, namun apabila dibandingkan antara berat tugas ibu dengan ayah, mulai mengandung sampai dewasa dan sebagaimana perasaan ibu dan ayah terhadap putranya, maka secara perbandingan, tidaklah keliru apabila dikatakan lebih berat tugas ibu dari pada tugas ayah.
Coba bandingkan, banyak sekali yang tidak bisa dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya, yang hanya seorang ibu saja yang dapat mengatasinya tetapi sebaliknya banyak tugas ayah yang bisa dikerjakan oleh seorang ibu.Barangkali karena demikian inilah maka penghargaan kepada ibunya. Walaupun bukan berarti ayahnya tidak dimuliakan, melainkan hendaknya mendahulukan ibu daripada mendahulukan ayahnya dalam cara memuliakan orang tua.[3]
a.       Akhlak terhadap orang tua yang masih hidup
Orang tua (ibu dan bapak) adalah orang secara jasmani menjadi asal keturunan anak. Jadi anak adalah keturunan dari orang tuanya dan darahnya adalah juga mengalir darah orang tuanya. Seorang anak kandung merupakan bagian dari darah dan daging orang tuanya, sehingga apa yang dirasakaan oleh anaknya juga dirasakan oleh orang tuanya dan demikian sebaliknya.
Itu pula sebabnya secara kudrati, setiap orang tua menyayangi dan mencintai anaknya sebagai mana ia menyayangi dan mencintai dirinya sendiri. Kasih dan sayang ini mulai dicurahkan sepenuhnya terutama oleh ibu, semenjak anak masih dalam kandungan sampai ia lahir dan menyusui bahkan sampai tua.
Orang tua tidak mengharapkan balas jasa dari anak atas semua pengorbanan yang diberikan kepada anak. Harapan orang tua hanya satu yaitu kelak anaknya menjadi anak yang saleh dan salehah, anak yang memberi kebahagiaan orang di dunia dan mendo’akan mereka setelah mereka meninggal dunia
Atas dasar itu, antara lain yang menyebabkan seorang anak harus berbakti kepada orang tua, bukan saja saat keduanya masih hidup, tetapi kebaktian anak itu harus lanjut sampai kedua orang tuanya meninggal.[4]
C.     Menjaga Akhlak Kepada kedua orang tua
1.      Mentaati perintah kedua orang tua
Manusia penting untuk selalu menjaga akhlak kepada orang tua. Manusia harus mentaati perintah orang tua karena pada hakikatnya tidak ada orang tua yang menginginkan keburukkan bagi anak anaknya, jadi apapun perintah mereka, tak lain adalah bentuk kecintaan yang tulus tanpa pamrih.
Keutamaan menjaga akhlak kepada orang tua melebihi keutamaan berjihad dijalan Allah,sebagaimana dalam hadis Abdullah binMas’ud r.a., yaitu sebagai berikut :
“Aku bertanya kepada Rasulullah SAW.: ‘Amalan yang paling utama?’ Beliau menjawab: ’shalat tepat pada waktunya.’Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua. ‘aku bertanya lagi: ‘kemudia apa? Beliau menjawab. ‘Berjihad dijalan Allah.’  (H.R. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah.
2.      Menolak perintah bermaksiat kepada allah dan rasul-Nya dengan cara baik dan Beretika
Keterbatasan pengetahuan dan keimanan, orang tua memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah maupun Rasulullah, jadi dalam keadaan semacam ini, agar akhlak kepada orang tua tetap terjaga, kita diperintahkan untuk menolak dengan cara cara yang baik. Allah berfirman dalam QS. Luqman ayat 15, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan akusesuatu yang tidak da pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduannya, dan pergaulilah keduanya didunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS. Luqman :15
3.      Berkata sopan dan tidak melukai hati
Menjaga akhlakkepada orang tua dapat dilakukan dengan menjaga adab berbicara kepada kedua orang tua dengan menggunakan bahasa yang baik, kalimat yang sopan, dan tidak menyakiti hati. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isra’ Ayat 24. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah do’a : ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduannya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.”[5]
4.      Merawat kedua orang tua lanjut usia dengan sabar dan ikhlas
Agar Akhlak kepada orang tua seorang muslim tetap terjaga hendaknya mereka menjaga orang tuanya hingga kahir hayatnya. Allah berfirman dalam Q.S. A-Isra’ ayat 23 “… Bila salah satu dari keduanya atau kedua-duanya mencapai usia lanjut disisimu, maka janganlah kamu katakan : “uhf!” dan jangan pula menghardik, dan katakana kepada mereka perkataan yang mulia!”
5.       Mendo’akan orang tua semasa hidupnya dan setelah meninggal dunia
IsIslam menganjurkan umatna untuk senantiasa menjaga akhlak kepada orang tua , berbuat baik kepada orang tua dalam keadaan apapun , dalam keadaan beriman maupun kafir, dalam keadaan senang maupun susah, dalam keadaan senang maupun susah, dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam keadaan hidup maupun sudah meninggal.




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari segi bahasa Akhlaq berasal daripada kata ‘khulq’ yang bererti perilaku, perangai atau tabiat. Hal ini terkandung dalam perkataan Sayyidah Aisyah berkaitan dengan akhlak Rasulullah saw yaitu : “Akhlaknya (Rasulullah) adalah al-Quran.” Akhlak Rasulullah yang dimaksudkan di dalam kata-kata di atas ialah kepercayaan, keyakinan, pegangan, sikap dan tingkah laku Rasulullah saw yang semuanya merupakan pelaksanaan dari ajaran al-Quran.
Menjaga akhlak kepada kedua orang tua dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya yaitu menghormati serta berbicara dengan penuh kasih kepada kedua orang tua, serta berakhlak yang baik diperintahkan oleh Allah SWT baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, Ada 2 dosa yang disegerakan hukumannya di dunia ini, yaitu zina dan durhaka kepada kedua orangtua. Medurhakai orang tua akan mendapatkan ganjaran yang amat pedih sebaliknya berbakti kepada orang tua akan mendapatkan ganjaran yang setimpal baik didunia maupun di akhirat karena keridhaan Allah terletak pada keridhaan kedua orang tua.








DAFTAR PUSTAKA


A Mustafa,  Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia:  Jakarta, 1999.
Abd. Hamid Yunus, Da.irah al-Ma.arif, II, Asy.syab, t.t : Cairo.
Ibrahim Anis, Al-Mu.jam al-Wasith, Darul Ma.arif :  MesirDarul Ma.arif, 1972.
Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Persfektif Hadits, UIN Jakarta Press: Jakarta, 2005.






[1] A Mustafa,  Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia:  Jakarta, 1999. Hal. 25

[2] Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Persfektif Hadits, UIN Jakarta Press: Jakarta, 2005. Hal. 12

[3] Abd. Hamid Yunus, Da.irah al-Ma.arif, II, Asy.syab, t.t : Cairo. Hal. 28

[4] Ibid. Hal. 29
[5] Ibrahim Anis, Al-Mu.jam al-Wasith, Darul Ma.arif :  MesirDarul Ma.arif, 1972. HAL. 34

Selasa, 21 Januari 2020

MAKALAH TENTANG HIBAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Diantara masalah yang timbul dalam hukum adat kita adalah, terdapat seseorang yang menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain, agar hartanya bisa bermanfaat, karena si pemberi  hibah takut hartanya kelak akan jatuh ke tangan ahli warisnya yang tak bisa dipertanggungjawabkan nantinya, dan kelak harta tersebut akan sia-sia.
Jelas hal ini tak sejalur dengan pemikiran kita selama ini, bahwa yang perlu dibatasi adalah wasiat yang tak boleh lebih dari sepertiga, bukan hibah. Padahal hibah dan wasiat juga sama-sama memiliki efek tersendiri bagi para ahli waris.
Oleh sebab itu, dikarenakan beberapa masalah pelik tersebut, penulis mencoba memaparkan beberapa hukum mengenai hibah lebih dari sepertiga menurut perspektif hukum islam.

B.     Rumusan Masalah
  1. Apa Pengertian Hibah?
  2. Sampai Sejauh Manakah Harta Yang Dihibahkan Kaitannya Dengan Ahli Waris?
  3. Apa Esensi Kompilasi Hukum Islam Dalam Membatasi Hibah?
  4. Pengertian Sedekah ?
  5. Dasar Hukum Sedekah ?
  6. Hukum Yang Terkait Dengan Sedekah ?






BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
  1. Pada mulanya kata hibah itu diambil dari kata “hubuuburr riih” artinya “nuruuruhaa” yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta atau selainnya.  Di dalam syariat islam, hibah berarti akad yang pokoknya  adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah mempunyai pengertian hal-hal yang meliputi :[1]
a)      Ibraa, yakni menghibahkan utang kepada yang berhutang;
b)      Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan pahala di akhirat;
c)      Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi imbalan.
  1. Pengertian Hibah Menurut Islam
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa harta benda maupun yang lainnya. Menurut istilah syara’ ialah:
a)Menurut Mazhab Hanafi adalah memberikan suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu adalah sah milik si pemberi.
b)      Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi tanpa mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama dengan hadiah. Dan apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala maka ini dinamakan sedekah.
c)Menurut Madzhab Hambali, adalah memberikan hak memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian yang mana tidak bersifat wajib,

dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada imbalan.

B. Landasan hukum
  1. Surat Al-Baqarah:195

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. “
Maka untuk itulah, dengan ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk berbuat sunnah dalam arti berbuat kebaikan yaitu berinfak, seperti: sodaqoh, wakaf, hibah, dan lain-lain
  1. Surat Ali-Imran:92
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris. Sedangakan hibah yang di berikan kepada non ahli waris, meskipun dalam kitab-kitab fiqh tak ada batasan  berapapun jumlahnya namun tak menutup kemungkinan seseorang akan menghibahkan seluruh hartanya, yang nantinya akan berakibat membahayakan ahli waris.

C.    Pendapat Para Ulama’ Mengenai Hibah Yang Lebih Dari Sepertiga
  1. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya, bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli waris. [2]
  2. Tetapi Imam Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkiik mahdzab Hanafi mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat di bedakan dalam 2 hal yaitu:  jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum mayoritas pakar hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha’ amsar menyatakan makruh.Sehubungan dengan tindakan rasulullah SAW. Terhadap kasus Nu’man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua terhadap anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadist lain yang redaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain.


  1. Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah bersikap adil diantara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukan maka harus dicabut kembali.
Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnul Khattab pernah mengemukakan  bahwa kembalikan putusan itu diantara sanak keluarga, sehingga mereka membuat perdamaian karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.
  1. Ulama Malikyah menetapkan dalam syarat orang yang yang menghibahkan adalah Ahlan li tabarru’  yaitu orang yang berhak berderma dan bersedekah. Yang dimaksud dengan ahli tabarru’ adalah diantaranya adalah :
a)      bukan seorang isteri. Jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga harta, karena ketika seorang isteri ketika menghibahkan harta melebihi sepertiga harta harus mendapat izin dari suaminya.
b)      bukan orang yang sakit, yang sudah mendekati kematian. Syarat ini berlaku jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga. Jika menghibahkan lebih dari sepertiga maka harus mendapatkan persetujuan ahli waris.

D.    Pengertian Sedekah
Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa Arab shodaqoh yang secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan islam, sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunahkan. Tetapi, setelah kewajiban zakat disyariatkan dalam Al-Qur’an sering disebutkan dengan kata shadaqah maka shadaqah mempunyai dua arti. Pertama, shadaqah sunah atau tathawwu’ (sedekah) dan wajib (zakat). Sedekah sunah atau tathawwu’ adalah sedekah yang diberikan secara sukarela (tidak diwajibkan) kepada orang (misalnya orang yang miskin/pengemis), sedangkan sedekah wajib adalah zakat, kewajiban zakat dan penggunaanya telah dinyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an dalam surat At-Taubat ayat 60 yang artinya “Zakat merupakan ibadah yang bersifat kemasyarakatan, sebab manfaatnya selain kembali kepada dirinya sendiri (orang yang menunaikan zakat), juga besar sekali manfaatnya bagi pembangunan bangsa negara dan agama”.
Sedangkan secara syara’ (terminologi), sedekah diartikan sebagai sebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah. Contoh memberikan sejumlah uang, beras atau benda-benda lain yang bermanfaat kepada orang lain yang membutuhkan. Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya infak (pemberian atau sumbangan) termasuk dalam kategori sedekah.

E.     Dasar Hukum Sedekah
Sedekah dibolehkan pada waktu dan disunahkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantaranya :[3]
Dalam Al-Qur’an yang artinya : “Barang sapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah Swt. pinjaman yang baik (manafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah Swt. akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS.Al-Baqarah :245) Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah :195)
Dalam As-Sunah yang hadistnya “Barang siapa yang memberi orang lapar, Allah Swt akan memberinya makan dari buah-buah surga. Barang siapa memberi minum orang dahaga, Allah Swt Maha Tinggi akan memberinya minum  pada hari kiamat dengan wangi-wangian yang dicap. Barang siapa yang memberi pakaian orang yang telanjang, Allah Swt akan memakaikan pakaian surga yang berwarna hijau”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

F.     Hukum Yang Terkait Dengan Sedekah
Pada dasarnya sedekah dapat diberikan kepada dan dimana saja tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Namun ada waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan yaitu lebih dianjurkan pada bulan Ramadhan. Dijelaskan pula dalam kitab Kifayat al-Akhyar, sedekah sangat dianjurkan ketika sedang menghadapi perkara penting, sakit atau berpergian, berada dikota Mekkah dan Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama seperti sepuluh hari di bulan Dzulhijah, dan hari raya.
Sedekah juga dapat diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang yang lebih utama yaitu kepada family yang paling memusuhi, family yang jauh hendaklah didahulukan dari tetangga yang bukan family. Karena selain sedekah, pemberian itu akan saling mempererat hubungan silaturahmi. Selain itu dalam menggunakan cara kita juga harus memilih cara yang lebih baik dalam bersedekah yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi. Hal itu lebih utama dibandingkan terang-terangan.

G.    Harta Yang Paling Utama Untuk Sedekah
Harta yang paling utama untuk di sedekahkan adalah kelebihan dari usaha dan hartanya untuk kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, jika memberikan sedekah dari harta yang masih dikategorikan kurang untuk memenuhi kebutuhan sendiri, lebih baik untuk tidak bersedekah. Dalam hadist disebutkan yang artinya “Sedekah yang paling baik adalah sesuatu yang keluar dari orang kaya dan telah mencukupi kebutuhannya”. (Muttafaq alaih)
Kaya pada hadist diatas tidak berarti kaya dalam materi, tetapi orang yang kaya hati, yakni sabar atas kefakiran. Ada hadist yang menyebutkan “Cukup bagi seseorang dikatakan dosa apabila menghilangkan makanan pokoknya”. (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah). Dengan kata lain sedekah disunahkan bagi seseorang atas kelebihan nafkahnya.

H.    Hadist-Hadist Mengenai Sedekah
Hadist-hadist yang berkenaan dengan sedekah diantaranya adalah sebagai berikut:
             “Bersodaqoh pahalanya sepuluh, memberi hutang (tanpa bunga) pahalanya delapan belas, menghubungkan diri dengan kawan-kawan pahalanya dua puluh dan silaturahmi (dengan keluarga) pahalanya dua puluh empat”. (HR. Al-Hakim)
             “Apabila anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali tiga hal yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) yang mendoakannya”. (HR. Muslim)

I.       Sedekah Yang Tidak Dibolehkan
Sedekah hukumnya dibolehkan selama benda yang disedekahkan itu adalah milik sendiri dan benda itu dari segi zatnya suci dan diperoleh dengan cara yang benar, meskipun jumlahnya sedikit. Maka jika barang itu statusnya milik bersama atau orang lain, maka tidak sah benda itu untuk disedekahkan karena barang yang disedekahkan harus di dasari oleh keikhlasan dan kerelaan dari pemiliknya. Berkaitan dengan ini, maka tidak boleh seorang istri menyedekahkan harta suaminya kecuali ada izin darinya. Tetapi, jika telah berlaku kebiasaan dalam rumah tangga seorang istri boleh menyedekahkan harta tertentu seperti makanan, maka hukumnya boleh tanpa minta izin kepada suaminya terlebih dahulu.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pengertian Hibah adalah memberikan hak memilik sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesame manusia dalam hal kebaikan.
Hibah pada dasarnya memang tidak ada kaitannya dengan kewarisan, karena berdasarkan pelaksanaan sudah jauh berbeda. Hibah diberikan ketika si penghibah masih hidup sedangakan kewarisan dilakukan setelah adanya kematian. Namun dengan adanya permasalahan yang ada, tak menutup kemungkinan seseorang memberikan atau menghadiahkan seluruh hartanya kepada orang lain, yang mana bisa merugikan ahli warisnya kelak.
Esensi Kompilasi Hukum Islam, dalam memberikan Batasan pemberian hibah adalah  baik kepada anak-anaknya sendiri atau kepada selain ahli waris. Jika batasan hibah kepada selain ahli waris karena ada kaitannya dengan kecukupan ahli waris kelak, maka hibah kepada anak-anaknya dibatasi juga untuk rasa keadilan.













DAFTAR PUSTAKA


Ghazali, Abdul Rahman. Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.

Zuhdi, Musjfuk. Studi Islam Jilid III : Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1993.

Jawaz, Yazid bin Abdul Qadir. Sedekah Sebagai Bukti Keimanan dan Penghapus Dosa. tt. Pustaka at-Taqwa. 2009.

Syafe’i, Rahmat. Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS,dan Umum. Bandung:CV Pustaka Setia. 2004.




[1]Ghazali, Abdul Rahman. Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.Hal. 84
[2] Zuhdi, Musjfuk. Studi Islam Jilid III : Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1993. Hal. 83
[3] Jawaz, Yazid bin Abdul Qadir. Sedekah Sebagai Bukti Keimanan dan Penghapus Dosa. tt. Pustaka at-Taqwa. 2009.Hal. 74