Selasa, 21 Januari 2020

MAKALAH TENTANG HIBAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Diantara masalah yang timbul dalam hukum adat kita adalah, terdapat seseorang yang menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain, agar hartanya bisa bermanfaat, karena si pemberi  hibah takut hartanya kelak akan jatuh ke tangan ahli warisnya yang tak bisa dipertanggungjawabkan nantinya, dan kelak harta tersebut akan sia-sia.
Jelas hal ini tak sejalur dengan pemikiran kita selama ini, bahwa yang perlu dibatasi adalah wasiat yang tak boleh lebih dari sepertiga, bukan hibah. Padahal hibah dan wasiat juga sama-sama memiliki efek tersendiri bagi para ahli waris.
Oleh sebab itu, dikarenakan beberapa masalah pelik tersebut, penulis mencoba memaparkan beberapa hukum mengenai hibah lebih dari sepertiga menurut perspektif hukum islam.

B.     Rumusan Masalah
  1. Apa Pengertian Hibah?
  2. Sampai Sejauh Manakah Harta Yang Dihibahkan Kaitannya Dengan Ahli Waris?
  3. Apa Esensi Kompilasi Hukum Islam Dalam Membatasi Hibah?
  4. Pengertian Sedekah ?
  5. Dasar Hukum Sedekah ?
  6. Hukum Yang Terkait Dengan Sedekah ?






BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
  1. Pada mulanya kata hibah itu diambil dari kata “hubuuburr riih” artinya “nuruuruhaa” yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta atau selainnya.  Di dalam syariat islam, hibah berarti akad yang pokoknya  adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah mempunyai pengertian hal-hal yang meliputi :[1]
a)      Ibraa, yakni menghibahkan utang kepada yang berhutang;
b)      Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan pahala di akhirat;
c)      Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi imbalan.
  1. Pengertian Hibah Menurut Islam
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa harta benda maupun yang lainnya. Menurut istilah syara’ ialah:
a)Menurut Mazhab Hanafi adalah memberikan suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu adalah sah milik si pemberi.
b)      Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi tanpa mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama dengan hadiah. Dan apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala maka ini dinamakan sedekah.
c)Menurut Madzhab Hambali, adalah memberikan hak memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian yang mana tidak bersifat wajib,

dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada imbalan.

B. Landasan hukum
  1. Surat Al-Baqarah:195

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. “
Maka untuk itulah, dengan ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk berbuat sunnah dalam arti berbuat kebaikan yaitu berinfak, seperti: sodaqoh, wakaf, hibah, dan lain-lain
  1. Surat Ali-Imran:92
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris. Sedangakan hibah yang di berikan kepada non ahli waris, meskipun dalam kitab-kitab fiqh tak ada batasan  berapapun jumlahnya namun tak menutup kemungkinan seseorang akan menghibahkan seluruh hartanya, yang nantinya akan berakibat membahayakan ahli waris.

C.    Pendapat Para Ulama’ Mengenai Hibah Yang Lebih Dari Sepertiga
  1. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya, bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli waris. [2]
  2. Tetapi Imam Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkiik mahdzab Hanafi mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat di bedakan dalam 2 hal yaitu:  jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum mayoritas pakar hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha’ amsar menyatakan makruh.Sehubungan dengan tindakan rasulullah SAW. Terhadap kasus Nu’man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua terhadap anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadist lain yang redaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain.


  1. Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah bersikap adil diantara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukan maka harus dicabut kembali.
Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnul Khattab pernah mengemukakan  bahwa kembalikan putusan itu diantara sanak keluarga, sehingga mereka membuat perdamaian karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.
  1. Ulama Malikyah menetapkan dalam syarat orang yang yang menghibahkan adalah Ahlan li tabarru’  yaitu orang yang berhak berderma dan bersedekah. Yang dimaksud dengan ahli tabarru’ adalah diantaranya adalah :
a)      bukan seorang isteri. Jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga harta, karena ketika seorang isteri ketika menghibahkan harta melebihi sepertiga harta harus mendapat izin dari suaminya.
b)      bukan orang yang sakit, yang sudah mendekati kematian. Syarat ini berlaku jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga. Jika menghibahkan lebih dari sepertiga maka harus mendapatkan persetujuan ahli waris.

D.    Pengertian Sedekah
Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa Arab shodaqoh yang secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan islam, sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunahkan. Tetapi, setelah kewajiban zakat disyariatkan dalam Al-Qur’an sering disebutkan dengan kata shadaqah maka shadaqah mempunyai dua arti. Pertama, shadaqah sunah atau tathawwu’ (sedekah) dan wajib (zakat). Sedekah sunah atau tathawwu’ adalah sedekah yang diberikan secara sukarela (tidak diwajibkan) kepada orang (misalnya orang yang miskin/pengemis), sedangkan sedekah wajib adalah zakat, kewajiban zakat dan penggunaanya telah dinyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an dalam surat At-Taubat ayat 60 yang artinya “Zakat merupakan ibadah yang bersifat kemasyarakatan, sebab manfaatnya selain kembali kepada dirinya sendiri (orang yang menunaikan zakat), juga besar sekali manfaatnya bagi pembangunan bangsa negara dan agama”.
Sedangkan secara syara’ (terminologi), sedekah diartikan sebagai sebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah. Contoh memberikan sejumlah uang, beras atau benda-benda lain yang bermanfaat kepada orang lain yang membutuhkan. Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya infak (pemberian atau sumbangan) termasuk dalam kategori sedekah.

E.     Dasar Hukum Sedekah
Sedekah dibolehkan pada waktu dan disunahkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantaranya :[3]
Dalam Al-Qur’an yang artinya : “Barang sapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah Swt. pinjaman yang baik (manafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah Swt. akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS.Al-Baqarah :245) Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah :195)
Dalam As-Sunah yang hadistnya “Barang siapa yang memberi orang lapar, Allah Swt akan memberinya makan dari buah-buah surga. Barang siapa memberi minum orang dahaga, Allah Swt Maha Tinggi akan memberinya minum  pada hari kiamat dengan wangi-wangian yang dicap. Barang siapa yang memberi pakaian orang yang telanjang, Allah Swt akan memakaikan pakaian surga yang berwarna hijau”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

F.     Hukum Yang Terkait Dengan Sedekah
Pada dasarnya sedekah dapat diberikan kepada dan dimana saja tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Namun ada waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan yaitu lebih dianjurkan pada bulan Ramadhan. Dijelaskan pula dalam kitab Kifayat al-Akhyar, sedekah sangat dianjurkan ketika sedang menghadapi perkara penting, sakit atau berpergian, berada dikota Mekkah dan Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama seperti sepuluh hari di bulan Dzulhijah, dan hari raya.
Sedekah juga dapat diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang yang lebih utama yaitu kepada family yang paling memusuhi, family yang jauh hendaklah didahulukan dari tetangga yang bukan family. Karena selain sedekah, pemberian itu akan saling mempererat hubungan silaturahmi. Selain itu dalam menggunakan cara kita juga harus memilih cara yang lebih baik dalam bersedekah yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi. Hal itu lebih utama dibandingkan terang-terangan.

G.    Harta Yang Paling Utama Untuk Sedekah
Harta yang paling utama untuk di sedekahkan adalah kelebihan dari usaha dan hartanya untuk kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, jika memberikan sedekah dari harta yang masih dikategorikan kurang untuk memenuhi kebutuhan sendiri, lebih baik untuk tidak bersedekah. Dalam hadist disebutkan yang artinya “Sedekah yang paling baik adalah sesuatu yang keluar dari orang kaya dan telah mencukupi kebutuhannya”. (Muttafaq alaih)
Kaya pada hadist diatas tidak berarti kaya dalam materi, tetapi orang yang kaya hati, yakni sabar atas kefakiran. Ada hadist yang menyebutkan “Cukup bagi seseorang dikatakan dosa apabila menghilangkan makanan pokoknya”. (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah). Dengan kata lain sedekah disunahkan bagi seseorang atas kelebihan nafkahnya.

H.    Hadist-Hadist Mengenai Sedekah
Hadist-hadist yang berkenaan dengan sedekah diantaranya adalah sebagai berikut:
             “Bersodaqoh pahalanya sepuluh, memberi hutang (tanpa bunga) pahalanya delapan belas, menghubungkan diri dengan kawan-kawan pahalanya dua puluh dan silaturahmi (dengan keluarga) pahalanya dua puluh empat”. (HR. Al-Hakim)
             “Apabila anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali tiga hal yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) yang mendoakannya”. (HR. Muslim)

I.       Sedekah Yang Tidak Dibolehkan
Sedekah hukumnya dibolehkan selama benda yang disedekahkan itu adalah milik sendiri dan benda itu dari segi zatnya suci dan diperoleh dengan cara yang benar, meskipun jumlahnya sedikit. Maka jika barang itu statusnya milik bersama atau orang lain, maka tidak sah benda itu untuk disedekahkan karena barang yang disedekahkan harus di dasari oleh keikhlasan dan kerelaan dari pemiliknya. Berkaitan dengan ini, maka tidak boleh seorang istri menyedekahkan harta suaminya kecuali ada izin darinya. Tetapi, jika telah berlaku kebiasaan dalam rumah tangga seorang istri boleh menyedekahkan harta tertentu seperti makanan, maka hukumnya boleh tanpa minta izin kepada suaminya terlebih dahulu.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pengertian Hibah adalah memberikan hak memilik sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesame manusia dalam hal kebaikan.
Hibah pada dasarnya memang tidak ada kaitannya dengan kewarisan, karena berdasarkan pelaksanaan sudah jauh berbeda. Hibah diberikan ketika si penghibah masih hidup sedangakan kewarisan dilakukan setelah adanya kematian. Namun dengan adanya permasalahan yang ada, tak menutup kemungkinan seseorang memberikan atau menghadiahkan seluruh hartanya kepada orang lain, yang mana bisa merugikan ahli warisnya kelak.
Esensi Kompilasi Hukum Islam, dalam memberikan Batasan pemberian hibah adalah  baik kepada anak-anaknya sendiri atau kepada selain ahli waris. Jika batasan hibah kepada selain ahli waris karena ada kaitannya dengan kecukupan ahli waris kelak, maka hibah kepada anak-anaknya dibatasi juga untuk rasa keadilan.













DAFTAR PUSTAKA


Ghazali, Abdul Rahman. Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.

Zuhdi, Musjfuk. Studi Islam Jilid III : Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1993.

Jawaz, Yazid bin Abdul Qadir. Sedekah Sebagai Bukti Keimanan dan Penghapus Dosa. tt. Pustaka at-Taqwa. 2009.

Syafe’i, Rahmat. Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS,dan Umum. Bandung:CV Pustaka Setia. 2004.




[1]Ghazali, Abdul Rahman. Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.Hal. 84
[2] Zuhdi, Musjfuk. Studi Islam Jilid III : Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1993. Hal. 83
[3] Jawaz, Yazid bin Abdul Qadir. Sedekah Sebagai Bukti Keimanan dan Penghapus Dosa. tt. Pustaka at-Taqwa. 2009.Hal. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar