BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Ismail Raji’il Al Faruqi
1.
Biografi
Ismail Raji
al-Faruqi lahir pada 1 Januari 1921 M, di Jaffa, Palestina, sebelum wilayah ini
diduduki Israel (Azra,1996:49). Pendidikan awalnya ditempuh di College des
Ferese, Libanon, yang menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa
pengantarnya, kemudian di American University, Bairut, jurusan Filsafat.
Pada tahun 1941, setelah meraih Bachelor of Arts (BA), ia bekerja
sebagai pegawai pemerintah (PNS) Palestina di bawah mandat Inggris. Empat tahun
kemudian, karena kepemimpinannya yang menonjol, Faruqi diangkat sebagai
gubernur di propinsi Galelia, Palestina, pada usia 24 tahun. Namun, jabatan ini
tidak lama diembannya, karena tahun 1947, propinsi tersebut jatuh ke tangan
Israel, sehingga ia hijrah ke Amerika. Setahun di Amerika, Faruqi melanjutkan
studinya di Universitas Indiana sampai meraih gelar master dalam bidang
filsafat, tahun 1949.[1]
Dua tahun
kemudian ia meraih gelar master kedua dalam bidang yang sama dari Universitas
Harvard. Puncaknya, tahun 1952, Faruqi meraih gelar Ph.D dari Universitas
Indiana, dengan disertasi berjudul On Justifying the God: Metaphysic and
Epistemology of Value (tentang pembenaran Tuhan,metafisika dan
epsitemologi nilai) (Lamya, 1997:xii). Namun, apa yang dicapai ini tidak
memuaskannya. Karena itu, ia kemudian pergi ke Mesir untuk lebih mendalami
ilmu-ilmu keislaman di Universitas al-Azhar, Kairo (Azra, 1996:49). Pada tahun
1959, Faruqi pulang dari Mesir dan mengajar di McGill, Montreal, Kanada, sambil
mempelajari Yudaisme dan Kristen secara intensif. Namun, dua tahun kemudian,
1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan, untuk ambil bagian dalam kegiatan Central
Institute for Islamic Research (CIIR) dan jurnalnya, Islamic Studies.
Dua tahun di
Pakistan, tahun 1963, Faruqi kembali ke Amerika dan mengajar di School of
Devinity, Universitas Chicago, sambil melakukan kajian keislaman di
Universitas Syracuse, New York. Selanjutnya, tahun 1968, Faruqi pindah dan
menjadi guru besar pemikiran dan kebudayaan Islam pada Temple University,
Philadelphia. Di sini Faruqi mendirikan Departemen Islamic Studies sekaligus
memimpinnya sampai akhir hayatnya, 27 Mei 1986.
Di samping
kontribusinya yang besar dalam memperkenalkan studi-studi keislaman di berbagai
perguruan tinggi di Amerika dan proyeknya yang terkenal, ‘islamisasi ilmu
pengetahuan’ (islamization of knowledge), Faruqi juga aktif dalam
gerakan-gerakan keislaman dan keagamaan. Bersama istrinya, Dr. Louis Lamya, ia
membentuk kelompok-kelompok kajian Islam, seperti Muslem Student
Association (MSA), American Academy of Religion (AAR), mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Association of Muslem Social Scientist - AMSS), Islamic Society of North America (ISNA), menerbitkan jurnal American
Journal of Islamic Social Sciences (AJISS), dan yang menomental, mendirikan Perguruan Tinggi Pemikiran Islam (The International Institue of Islamic Thought - IIIT).
Association (MSA), American Academy of Religion (AAR), mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Association of Muslem Social Scientist - AMSS), Islamic Society of North America (ISNA), menerbitkan jurnal American
Journal of Islamic Social Sciences (AJISS), dan yang menomental, mendirikan Perguruan Tinggi Pemikiran Islam (The International Institue of Islamic Thought - IIIT).
Selain itu,
Faruqi juga duduk sebagai penasehat serta ikut mendesain program studi Islam di
berbagai Universitas di dunia Islam, antara lain, di Pakistan, India, Afrika
Selatan, Malaysia, Saudi Arabia dan Mesir. Juga di tempat- tempat _solative
seperti di Universitas Mindanau, Philipina Selatan, dan Universitas Qum,
Teheran, Iran.[2]
2.
Karya-karya
Al Faruqi
Faruqi banyak
meninggalkan karya tulis. Tercatat tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul
buku, yang mencakup berbagai persoalan, antara lain, etika, seni, sosiologi,
kebudayaan, metafisika dan politik.
Di antara
bukunya adalah :
a.
Ushûl al-Syahyuniyah fi al-Dîn
al-Yahûdi (1963Historical Atlas of
Religion of the World (1974),
Religion of the World (1974),
b.
Islamic and Culture (1980),
c.
Islamization of
Knowledge General Principles and Work plan (1982),
d.
Tauhid Its
Implications for Thought and Life (1982), Cultural Atlas of Islam (1986),
e.
Christian Ethics, Trealogue of
Abraham Faith, dan Atlas of Islamic Culture and
Civilization.
B. Islamisasi
Ismail Raji’il Al Faruqi
Menurut Faruqi,
adalah fakta bahwa apa yang dicapai sains modern, dalam berbagai aspeknya
merupakan sesuatu yang sangat menakjubkan. Namun, kemajuan tersebut ternyata
juga memberikan dampak lain yang tidak kalah mengkhawatirkannya. Akibat dari
paradigma yang sekuler, pengetahuan modern menjadi kering, bahkan terpisah dari
nilai-nilai tauhid: suatu prinsip global yang mencakup lima kesatuan, yaitu
keesatuan Tuhan, kesatuan alam, kesatuan kebenaran, kesatuan hidup dan kesatuan
umat manusia. Jelasnya, sains modern telah lepas atau melepaskan diri dari
nilai-nilai teologis. Perceraian sains modern dari nilai-nilai teologis ini
memberikan dampak negatif.
Pertama,
dalam aplikasinya, sains modern melihat alam beserta hukum dan polanya,
termasuk manusia sendiri, hanya sebagai sesuatu yang bersifat material dan
insidental yang eksis tanpa intervensi Tuhan. Karena itu, manusia bisa
memperkosa dan mengeksploitir kekayaan alam tanpa memperhitungkan nilai-nilai
spiritualitas.
Kedua,
secara metodologis, sains modern ini, tidak terkecuali ilmu-ilmu sosialnya,
menjadi sulit diterapkan untuk memahami realitas sosial masyarakat muslim yang
mempunyai pandangan hidup berbeda dari Barat.[3]
Sementara itu,
keilmuan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis,
terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan
betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang dianggap sekuler.
Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya global, para ilmuan
muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni
dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik
terhadap syariah (fiqh produk abad pertengahan). Mereka menganggap bahwa
syariah (fiqh) adalah hasil karya yang telah fixed dan paripurna,
sehingga segala perubahan dan pembaharuan atasnya adalah penyimpangan dan
setiap penyimpangan adalah sesat dan bid`ah. Mereka melupakan sumber utama
kreatifitas, yakni ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya.
Sikap sebagian
ilmuan muslim tersebut, pada akhirnya juga menimbulkan pemisahan wahyu dari
akal, pemisahan pemikiran dari aksi dan pemisahan pemikiran dari kultur,
sehingga menimbulkan stagnasi keilmuan dikalangan. Artinya, dampak negatif yang
terjadi dari sikapsikap “keras kepala” sebagian ilmuan Islam sendiri
sesungguhnya tidak kalah membahayakannya dibanding apa yang ada dalam sains
modern. Kenyataannya, menurut Faruqi, di sekolah, akademi maupun universitas,
tidak pernah terjadi seperti sekarang di mana seorang ilmuan muslim begitu berani
mengemukakan tesa-tesa yang bisa dianggap tidak Islami, dan tidak sehebat
sekarang acuhnya pemuda muslim terhadap agamanya.[4]
Bersamaan dengan
itu, sistem dan model pendidikan Islam yang dianggap sebagai ujung tombak
kemajuan, justru mendukung dan melestarikan tradisi keilmuan Islam yang
stagnan. Menurut Faruqi , model pendidikan masyarakat Islam bisa dipolakan
menjadi tiga kategori.
Pertama,
Sistem pendidikan tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara
sempit, sisi hukum dan ibadah mahdlah, yang dalam konteks Indonesia bisa
ditunjukan pada model pendidikan salaf di pesantren.
Kedua,
sistem pendidikan yang lebih menekankan ilmu-ilmu sekular yang diadopsi secara
mentah dari barat, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada sistem
pendidikan umum. Kedua sistem ini menimbulkan dualisme (split) dalam
kepribadian masyarakat muslim. Alumnus pendidikan salaf (pesantren) cenderung
bersikap konservatifekslusif dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu modern
yang sebenarnya sangat diperlukan, sementara sarjana pendidikan modern
cenderung bersikap sekularistik-materialistik dan antagonistik terhadap
ilmu-ilmu religius.
Di samping kedua
sistem pendidikan tersebut, ketiga, ada sistem konvergensif yang
memadukan kedua sistem yang ada. Sistem ini, di samping memberikan materi agama
juga memberikan berbagai disiplin ilmu modern yang diadopsi dari barat. Namun,
pencangkokan ini ternyata tidak dilakukan di atas dasar filosofis yang benar,
tetapi semata hanya diberikan secara bersama-sama, ilmu-ilmu agama dijejerkan
dengan ilmu-ilmu umum (seperti yang ada di MAN, STAIN, IAIN dan UIN), sehingga
tidak memberikan dampak positif pada mahasiswa. Apalagi kenyataannya, ilmu-ilmu
tersebut sering disampaikan oleh dosen yang kurang mempunyai wawasan keislaman
dan kemoderanan yang memadai.[5]
Berdasarkan
realitas seperti itu, menurut Faruqi, tidak ada cara lain untuk membangkitkan
Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan mengkaji kembali kultur
keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan modern barat sekaligus, untuk
kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan li alalamin, melalui
apa yang disebut “islamisasi ilmu” yang kemudian disosialisasikan lewat sistem
pendidikan Islam yang integritas.
Di samping itu, Al-Faruqi menggariskan
12 langkah yang perlu dilalui untuk mencapai tujuan tersebut diatas. Langkah-langkah
tersebut ialah:[6]
1)
Penguasaan disiplin modern - prinsip, metodologi,
masalah, tema dan perkembangannya
2)
Peninjauan disiplin
3)
Penguasaan ilmu warisan Islam: antologi
4)
Penguasaan ilmu warisan Islam: analisis
5)
Penentuan relevansi Islam yang tertentu kepada suatu
disiplin
6)
Penilaian secara kritis disiplin modern, memperjelas
kedudukan disiplin dari sudut Islam dan memberi panduan terhadap langkah yang
harus diambil untuk menjadikannya islami
7)
Penilaian secara kritis ilmu warisan Islam, perlu
dilakukan pembetulan terhadap kesalahpahaman.
8)
Kajian masalah utama umat Islam
9)
Kajian masalah manusia sejagat
10) Analisis dan
sintesis kreatif
11) Pengacuan
kembali disiplin dalam kerangka Islam: buku teks universitas
12) Penyebarluasan
ilmu yang sudah diislamkan.
1.
Prinsip Dasar Islamisasi
Untuk
membandingkan gagasannya tentang islamisasi ilmu, Faruqi meletakkan pondasi
epistemologinya pada “prinsip tauhid” yang terdiri lima macam kesatuan yaitu:
a. Keesaan
(kesatuan) Tuhan, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang menciptakan dan
memelihara semesta. Implikasinya, berkaitan dengan pengetahuan adalah bahwa
sebuah pengetahuan bukan untuk menerangkan dan memahami realitas sebagai
entitas yang terpisah dari realitas absolut (Tuhan), melainkan melihatnya
sebagai bagian yang integral dari eksistensi Tuhan. Karena itu, islamisasi ilmu
mengarahkan pengetahuan pada kondisi analisa dan sintesa tentang hubungan
realitas yang dikaji dengan hukum Tuhan (divine pattern).
b. Kesatuan
ciptaan, bahwa semesta yang ada ini baik yang material, psikis, spasial
(ruang), biologis, sosial maupun estetis, adalah kesatuan yang integral.
Masing-masing saling kait dan saling menyempurnakan dalam ketentuan hukum alam
(sunnatullah) untuk mencapai tujuan akhir tertinggi, Tuhan. Namun,
bersamaan dengan itu, Dia juga menundukkan alam semesta untuk manusia, sehingga
mereka bisa mengubah polanya dan mendayagunakannya demi kesejahtaraan umat.[7]
Berdasarkan hal ini, dalam kaitannya dengan
islamisasi ilmu, maka setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan harus
diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepada-Nya.
Ini berbeda dengan prinsip keilmuan barat, di mana
sejak abad 15, mereka sudah tidak lagi berterima kasih pada Tuhan melainkan
hanya pada dirinya sendiri dan untuk kepentingannya sendiri. Mereka memisahkan
pengetahuan dari prinsip teologis dan agama.
c. Kesatuan
kebenaran dan pengetahuan. Kebenaran bersumber pada realitas, dan jika semua
realitas berasal dari sumber yang sama, Tuhan, maka kebenaran tidak mungkin
lebih dari satu. Apa yang disampaikan lewat wahyu tidak mungkin berbeda apalagi
bertentangan dengan realitas yang ada, karena Dialah yang menciptakan keduanya.
Faruqi merumuskan kesatuan kebenaran ini sebagai
berikut:
1) bahwa
berdasarkan wahyu, kita tidak boleh membuat klaim yang paradoksal dengan
realitas. Pernyataan yang diajarkan wahyu pasti benar dan harus berhubungan dan
sesuai dengan realitas. Jika terjadi perbedaan atau bahkan pertentangan antara
temuan sains dan wahyu, seorang muslim harus mempertimbangkan kembali
pemahamannya atas teks atau mengkaji ulang data-data penelitiannya.
2) Bahwa
dengan tidak adanya kontradiksi antara nalar dan wahyu, berarti tidak ada
satupun kontradiksi antara realitas dan wahyu yang tidak terpecahkan. Karena
itu, seorang muslim harus terbuka dan senantiasa berusaha merekonsiliasikan
antara ajaran agama dengan kemajuan Iptek.
3) Bahwa
pengamatan dan penyelidikan terhadap semesta dengan bagian-bagiannya tidak akan
pernah berakhir, karena polapola Tuhan tidak terhingga. Betapapun mendalam dan
banyaknya seseorang menemukan data baru, semakin banyak pula data yang belum
terungkap. Karena itu, seorang muslim dituntut bersikap open minded,
rasional dan toleran terhadap bukti dan penemuan baru.
d. Kesatuan
hidup. Menurut Faruqi, kehendak Tuhan terdiri atas dua macam:
1) berupa
hukum alam (sunnatullah) dengan segala regularitasnya yang memungkinkan
diteliti dan diamati, materi.
2) berupa
hukum moral yang harus dipatuhi, agama. Kedua hukum ini berjalan seiring,
senada dan seirama dalam kepribadian seorang muslim. Konsekuensinya, tidak ada
pemisahan antara yang bersifat spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani.[8]
e. Kesatuan
manusia. Tata sosial Islam, menurut Faruqi adalah universal, mencakup seluruh
umat manusia tanpa terkecuali. Kelompok muslim tidak disebut bangsa, suku atau
kaum melainkan umat.[9]
Pengertian umat bersifat trans lokal dan tidak ditentukan oleh pertimbangan
geografis, ekologis, etnis, warna kulit, kultur dan lainnya, tetapi hanya
dilihat dari sisi taqwanya. Meski demikian, Islam tidak menolak adanya
klasifikasi dan stratifikasi natural manusia ke dalam suku, bangsa dan ras
sebagai potensi yang dikehendaki Tuhan. Yang ditolak dan dikutuk Islam adalah
faham ethnosentrisme, karena hal ini akan mendorong penetapan hukum, bahwa
kebaikan dan kejahatan hanya berdasarkan ethnisnya sendiri, sehingga
menimbulkan berbagai konflik antar kelompok. Kaitannya dengan islamisasi ilmu,
konsep ini mangajarkan bahwa setiap pengembangan ilmu harus berdasar dan
bertujuan untuk kepentingan kemanusiaan, bukan hanya kepentingan golongan, ras
dan etnis tertentu.
C.
Analisis
terhadap Konsepsi Ilmu Al Faruqi
Pada dasarnya
sernua pelopor ide Islamisasi ilmu, khususnya al-Attas, al-Faruqi dan Nasr,
menyakini bahwa ilmu itu bukanlah neutral atau bebas nilai. Tujuan usa-ha
mereka adalah sama dan konsep Islamisasi ilmu yang mereka bawa adalah bertunjangkan
kepada prinsip metafisik, ontologi, epistemologi dan aksiologi Islam yang
berpaksikan konsep tauhid.
Mereka sependapat
sebulat suara bahwa ilmu Barat khususnya ilmu sains kemanusiaan, sains
kemasyarakatan, dan sains alam modern bersandar pada falsafah dan pandangan
alam sekuler di mana Allah yang Maha Esa telah dipinggirkan. Dalam kerangka
ilmu ini, Allah tidak berperan. Mungkin mereka sependapat dengan Aristoteles
tentang Tuhan dan penciptaan alam di mana alam ini laksana sebuah jam dan Tuhan
umpama pencipta jam tersebut. Setelah jam itu dicipta, penciptanya tidak mempunyai
peranan apa-apa lagi.
Begitu juga,
golongan ini menganggap bahwa Tuhan tidak lagi mempunyai peran apa-apa setelah
Ia mencipta alam yang kini bergerak dengan sendiri melalui mekanisme cause dan
effect.
Pemikir ini juga
sependapat bahwa metodologi ilmu modern ini banyak dipengaruhi oleh metodologi
sains alamiah yang menekankan objektivitas tetapi telah melampaui batasan
dengan wujudnya golongan berpaham positivistik yang menolak segala kenyataan
atau hakikat yang tidak dapat dibuktikan secara empirikal.
Dan sudut
epistemologi, falsafah yang didukung ini menentang ilmu yang bersumberkan
wahyu maupun ilham dan cuma menerima akal dan panca indera. Dengan penerimaan
teori evolusi Darwin, sains telah mengaibaikan al-Khaliq dan meyakini bahwa
proses alam ini terjadi secara evolusi tanpa Pencipta. Justru itu ilmu modern
ini bukannya mengokohkan iman kepada Allah sebagaimana peranan ilmu yang hakiki
dalam pandangan Islam, tetapi sebaliknya merusakkan dan menyesatkan aqidah
umat Islam.
Al-Faruqi
memberi penekanan kepada transformasi sosial dibanding idealisme Sufi yang
memberi perhatian kepada perubahan individu. Dia mengutamakan masyarakat dan
negara dibanding individu. ini jelas sekali dan penekanan al-Faruqi kepada
ummah.
Oleh karena
titik permulaan al-Faruqi kerap dikritik, maka kita mungkin dapat mengubahnya
bermula dengan ilmu warisan Islam. Lagipun mahasiswa dan negara Islam yang
mendalami ilmu di Barat yang menjadi tumpuan al-Faruqi pasti sudah diperkenalkan
kepada ilmu fardhu ‘ain dasar melalui sistem pendidikan negara asal mereka.
Mungkin kita boleh jadikan pemahaman tentang falsafah Islamisasi ilmu sebagai
langkah pertama dalam kerangka kerja al-Faruqi.
[2] Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik
Islam dari Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernisme, (Jakarta,
Paramadina, 1996). Hal. 141
[4] Ibid. Hal. 76
[5] Hidayat, Kamaruddin & Wahyuni Nafis,
Agama Masa Depan Perspektf Filsafat Perenial, (Jakarta, UI Pres,
1995). Hal. 115
[7] Faruqi dan Louis Lamya Faruqi, Tauhid Dasar Peradaban Islam, dalam
jurnal Ulumul Qur`an, (no. 1/VII/ 1996). Hal. 273
[8] Faruqi, Ismael R., Islamisasi
Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, (Bandung, Pustaka, 1995). Hal. 85
[9] Ibid. Hal. 110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar