BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Syed Muhammad Naquid Al Attas dan
Karya-karyanya
1.
Biografi
Syed Muhammad Naquid Al Attas
Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin
bin Muhammad al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat,
Indonesia. Silsilah resmi keluarga Naquib al-Attas yang terdapat dalam koleksi
pribadinya menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan ke 37 dari Nabi
Muhammad SAW.
Secara umum, pendidikan al-Attas bermula di Sukabumi
(Indonesia) dan Johor Baru (Malaysia). Setamat dari situ al-Attas masuk militer
di Inggris, kemudian kuliah di Universitas Malaya (UM) di Singapura. Untuk
selanjutnya al-Attas melanjutkan studinya hingga memperoleh gelar M.A dan Ph.D,
masing-masing dari McGill University, Montreal di Canada dan University of
London di Inggris, dengan fokus kajian pada teologi dan metafisika alam.[1]
Ketika masih
mengambil program S1 di Universitas Malaya, al- Attas telah menulis dua buah
buku. Buku pertama adalah “Rangkaian Rubaiyat.” Buku ini termasuk di
antara karya sastra pertama yang dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala
Lumpur, pada tahun 1959.
Sedangkan buku kedua yang sekarang menjadi karya
klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced among the
Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia pada
tahun 1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada
melalui “Canada Counsel Fellowship” memberinya beasiswa untuk belajar di
Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal yang didirikan oleh
Wilfred Cantwell Smith. Di universitas inilah al-Attas berkenalan dengan
beberapa orang sarjana ternama seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur
Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Sayyed Hossein Nashr (Iran).
Pada tahun
1962, al-Attas mendapat gelar M.A. dengan tesis yang berjudul “Raniri and
the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.” Dan selama kurang lebih dua tahun
(1963-1965) atas bimbingan Prof. Martin Lings, al-Attas menyelesaikan
perkuliahan dan meraih gelar Ph.D (Philosophy Doctor) dalam bidang
filsafat Islam dan kesusastraan Melayu Islam dengan mempertahankan disertasi
yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude.
Disertasi tersebut telah dibukukan dengan judul “Mysticism of Hamzah Fansuri”.
Dalam
perjalanan karir akademiknya, al-Attas mengawali karirnya dengan menjadi
seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi
dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan,
direktur dan rektor. Pada tahun 1968-1970 al-Attas menjabat sebagai ketua
Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. al-Attas merancang dasar
bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 al-Attas menjabat
Dekan pada Fakultas Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24
januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu,
dalam pengukuhannya dia membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam
Sejarah dan Kebudayaan Melayu.[2]
2. Karya-karya Al Attas
Al-Attas
telah menulis sekitar 26 buku dan monograf dalam bahasa Inggris dan Melayu,
banyak dari buku dan monograf itu yang telah diterjemahkan ke bahasa lain
seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Perancis,
Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan Albania. Berikut adalah karya-karyanya
yang telah diterbitkan diantaranya yaitu:
a.
Rangkaian Rubaiyat, Some Aspects of Sufism as
Understood and Practiced Among the Malays,
b.
Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh,
c.
The Mysticism of Hamzah Fansuri, Risalah Untuk Kaum
Muslimin, Islam and Secularism,
d.
The Concept of Education in Islam
e.
A Commentary on the Hujjat al Siddiq of Nur al Din al
Raniri,
f.
Islam and the Philosophy of Science,
g.
Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition
of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, dan
lainnya.
B.
Sejarah
Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Gagasan al-Attas tentang islamisasi
ilmu pengetahuan muncul karena tidak adanya landasan pengatahuan yang bersifat
netral, sehingga ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu
yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam,
telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat. Apa yang dirumuskan dan
disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian
peradaban Barat. Pengetahuan yang disajikan dan dibawakan itu berupa
pengetahuan yang semu yang dilebur secara halus dengan yang sejati (the
real) sehingga manusia yang mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan
menerima pengetahuan yang sejati. Karena itu, al-Attas memandang bahwa
peradaban Barat tidak layak untuk dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.[3]
Menurut al-Attas, pengetahuan Barat
telah membawa kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism).
Barat telah mengangkat sesuatu hal yang masih dalam keraguan dan dugaan ke
derajat ilmiah dalam hal metodologi. Peradaban Barat juga memandang
keragu-raguan sebagai suatu sarana epistimologis yang cukup baik dan istimewa
untuk mengejar kebenaran. Tidak hanya itu, pengetahuan Barat juga telah membawa
kekacauan pada tiga kerajaan alam yaitu hewan, nabati dan mineral.
Padahal sejatinya, Islam telah
memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban Barat dalam bidang
pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah, meski diakui bahwa
sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari para filosof Yunani.
Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan muslim di masa
klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan. Bahkan,
pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat manusia,
setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan percobaan.
Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia Islam.
Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk dan
dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur dan
terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan
nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat. Menurut al-Attas, dualisme tidak
mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan,
keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.[4]
Kebenaran dan realitas dalam
pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan
keyakinan, melainkan atas tradisi budaya didukung dengan premis-premis
filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama
yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia (antropomorfisme),
sebagai makhluk fisik dan sekaligus sebagai makhluk rasional.
Perenungan filsafat tidak akan
menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari pengetahuan wahyu
yang dipahami dan dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan
nilai-nilai yang mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan
kepada kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan
perubahan (change) yang tetap.
Sedangkan pandangan hidup dalam
Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the
vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah
semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah,
sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekuler
mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Akan tetapi
realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan kajian metafisis
terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Pandangan hidup Islam tidak
berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis
dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang
menyatukan (tauhid). Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang
didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti keimanan dan
pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam
wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.
Dengan demikian, sangat jauh
berbeda antara pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Barat dari
nilai-nilai keislaman (al-qiyam al-islamiyah). Karena Barat
mendasarkan segala sesuatunya dengan kecenderungan pada dikotomisme. Sedangkan Islam pada konsep tauhid.
Dari situlah kemudian al-Attas mencoba untuk menggagas sebuah konsep islamisasi
yang diharapkan dari konsep ini akan meng-counter peradaban Barat yang sekuler.
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Al
Attas
Al-Attas
melihat bahwa ilmu pengetahuan yang ada ini tidak bersifat netral, sehingga
ilmu pun tidak dapat berdiri bebas nilai. Menurutnya, ilmu tidaklah bebas nilai
(value-free) akan tetapi syarat nilai (value laden).
Ironisnya,
ilmu yang ada ini sudah terbaratkan atau tersekulerkan.Pengetahuan dan ilmu
yang tersebar sampai ke tengah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Islam,
telah diwarnai corak budaya dan peradaban Barat.Apa yang dirumuskan dan
disebarkan adalah pengetahuan yang dituangi dengan watak dan kepribadian
peradaban Barat.
Pengetahuan
yang disajikan dan dibawakan itu berupa pengetahuan yang semu yang dilebur
secara halus dengan yang sejati (the real) sehingga manusia yang
mengambilnya dengan tidak sadar seakan-akan menerima pengetahuan yang
sejati.Karena itu, al-Attas memandang bahwa peradaban Barat tidak layak untuk
dikonsumsi sebelum diseleksi terlebih dahulu.
Kehidupan
Barat yang bercirikan sekuler telah menjadikan sains (ilmu pengetahuan) sebagai
satu-satunya pengetahuan yang bersifat otentik yang hanya dikaitkan dengan
fenomena semata.Kriteria untuk mengukur sebuah kebenaran juga hanya berpatokan
pada rasio.
Pandangan
seperti itu muncul karena sains Barat tidak dibangun di atas wahyu.Ia dibangun
di atas budaya yang diperkuat oleh spekulasi filosofis kehidupan sekuler yang
memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan,
nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus
berubah.
Inilah yang
dikritisi oleh Al-Attas. Pandangan tersebut menurutnya tidak sesuai dengan
epistimologi Islam. Menurut al-Attas, pengetahuan Barat telah membawa
kebingungan (confusion) dan skeptisisme (skepticism). Tidak hanya
itu, pengetahuan Barat juga telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam
yaitu hewan, nabati dan mineral.[5]
Padahal
sejatinya, Islam telah memberi kontribusi yang sangat berharga pada peradaban
Barat dalam bidang pengetahuan dan menanamkan semangat rasional serta ilmiah,
meski diakui bahwa sumber asalnya juga berasal dari Barat sendiri, yakni dari
para filosof Yunani. Namun berkat kegigihan usaha para sarjana dan cendekiawan
muslim di masa klasik, warisan yunani tersebut dapat digali dan dikembangkan.
Bahkan, pengetahuan-pengetahuan telah diaplikasikan untuk kesejahteraan umat
manusia, setelah dilakukan usaha-usaha secara ilmiah melalui penelitian dan
percobaan.Barat mengambil alih pengetahuan dan ilmu tersebut dari dunia
Islam.Pengetahuan dan semangat rasional serta semangat ilmiah tersebut dibentuk
dan dikemas kembali untuk disesuaikan dengan kebudayaan Barat sehingga lebur
dan terpadu dalam suatu dualisme menurut pandangan hidup (worldview) dan
nilai-nilai kebudayaan serta peradaban Barat.Menurut al-Attas, dualisme tidak
mungkin diselaraskan karena terbentuk dari ide-ide, nilai-nilai, kebudayaan,
keyakinan, filsafat, agama, doktrin, dan teologi yang bertentangan.
Kebenaran dan
realitas dalam pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan
wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya didukung dengan
premis-premis filosofis yang didasarkan pada spekulasi atau
perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang
berpusat pada manusia (antropomorfisme), sebagai makhluk fisik dan
sekaligus sebagai makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan
suatu keyakinan sebagaimana yang diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami
dan dipraktikkan dalam Islam. Karena itu, pengetahuan dan nilai-nilai yang
mendasari pandangan hidup (worldview) dan mengarahkan kepada
kehidupan Barat menjadi tergantung pada peninjauan (review) dan
perubahan (change) yang tetap.
Sedang
kelahiran ilmu dalam Islam, menurut Al-Attas , didahului oleh tradisi
intelektual yang tak lepas dari lahirnya pandangan hidup Islam yang bersumber
dari al-Qur`an dan penjelasannya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (SAW).
Berdasar
inilah, sains dalam Islam menempatkan wahyu sebagai sumber ilmu untuk alat ukur
sebuah kebenaran akhir.Wahyu menjadi dasar bagi kerangka metafisis untuk
mengupas filsafat sains sebagai sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan
kebenaran dari sudat pandang rasionalisme dan empirisisme.
Realitas dan
kebenaran dalam Islam bukan semata-mata pikiran tentang alam fisik dan
keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya, sebagaimana
yang ada di dalam konsep Barat. Namun, ia dimaknai berdasarkan kajian
metafisika terhadap dunia yang tampak dan tidak tampak.
Pandangan
hidup Islam mencakup dunia dan akhirat. Aspek dunia itu harus dihubungkan
dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat
memiliki signifikansi yang terakhir dan final.
Pandangan
hidup dalam Islam, menurut al-Attas, adalah visi mengenai realitas dan
kebenaran (the vision of reality and turth). Realitas dan kebenaran
dalam Islam bukanlah semata-mata fikiran tentang alam fisik dan keterlibatan
manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam
konsep Barat sekuler mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat
dilihat. Akan tetapi realitas dan kebenaran dalam Islam dimaknai berdasarkan
kajian metafisis terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak.Pandangan hidup
Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif,
historis dan normatif.Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang
menyatukan (tauhid).Pandangan hidup Islam bersumber kepada wahyu yang
didukung oleh akal dan intuisi.Substansi agama seperti keimanan dan
pengalamannya, ibadahnya, doktrinnya serta sistem teologinya telah ada dalam
wahyu dan dijelaskan oleh Nabi.[6]
D.
Analisis
Terhadap Konsepsi Islamisasi Ilmu Al Attas
Dalam pandangan al-Attas, sebelum
islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah
islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh al-Qur’an
sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran
dan nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan
islamisasi nalar atau pikiran
Islamisasi bahasa Arab yang
termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah mengubah kedudukan bahasa
Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu–satunya bahasa yang hidup
yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan tersempurnakan
sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak
tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan
sosial seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan
tradisi. Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab
suci al-Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa
perubahan, tetap hidup dan tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur.
Oleh karena itu, arti istilah-istilah yang bertalian dengan Islam, tidak ada
perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap generasi pengetahuan
lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut termasuk
norma–normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan
termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang
dikatakan berkembang.[7]
Lebih lanjut menurut al-Attas,
istilah-istilah Islam merupakan pemersatu bangsa–bangsa muslim, bukan hanya
karena kesamaan agama semata, melainkan karena istilah-istilah itu tidak dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika diterjemahkan ke
dalam bahasa lain, maka istilah-istilah itu menjadi kehilangan makna
ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami
dengan pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada
nabi-nabi sebelum Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang
menyebutkan “hari penyempurnaan agama Islam”, di pahami al-Attas
sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu Islam telah merupakan sebuah
tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk
terjadinya perubahan.
Sedangkan dalam prosesnya,
islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai beberapa langkah yaitu:
1.
Mengisolisir unsur-unsur dan
konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat.Unsur–unsur tersebut terdiri dari:[8]
a. Akal
diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
b. Bersikap
dualistik terhadap realitas dan kebenaran (The concept of dualism which
involved of reality and truth).
c. Menegaskan
aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler (secular
worldview).
d. Membela
doktrin humanism (the doctrine of humanism).
e. Menjadikan
drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi
kemanusiaan.
Bagaimanapun,
ilmu-ilmu alam, fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu,
ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep,
praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek empiris dan rasional,
dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas ilmu tersebut,
bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, rasionalitas
proses-proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya,
batasannya, keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan
sosial harus diperiksa dengan teliti.
2.
Memasukkan unsur-unsur Islam beserta
konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang
relevan. Al-Attas menyarankan, agar
unsur dan konsep utama Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing
tersebut. Konsep utama Islam tersebut yaitu:
a.
Konsep Agama (ad-din)
b.
Konsep Manusia (al-insan)
c.
Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan
al-ma’rifah)
d.
Konsep kearifan (al-hikmah)
e.
Konsep keadilan (al-‘adl)
f.
Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
Tujan Islamisasi ilmu sendiri
adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang
menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk
mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi
muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan keamanan,
kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.
Adapun yang menjadi obyek
Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi adalah yang terdapat
dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan dalam
Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah
terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason),
pengalaman (experience) dan intuisi (intuition). Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya,
islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama yang saling berhubungan: pertama,
proses mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep penting Barat dari suatu
ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam
ke dalamnya.[9]
[1] Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia,
(Ciputat: Quantum Teaching, 2005). Hal. 115
[2] Ibid. Hal. 116
[3] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993). Hal. 190
[4] Ibid. Hal. 91
[5] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan
Sekularisme, Terj. Karsidjo Djojosuwarno (Bandung: Pustaka, 1981). Hal
195-196
[6] Ismail SM, Paradigma pendidikan Islam Prof. Dr.
Syed Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Hal.
132
[7] Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran
Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003). Hal. 120
[8] Ibid. Hal. 121
[9] Adnin Armas, Westernisasi dan Islamisasi Ilmu,
Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005). Hal. 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar