Selasa, 21 Januari 2020

MAKALAH TENTANG HIBAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Diantara masalah yang timbul dalam hukum adat kita adalah, terdapat seseorang yang menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain, agar hartanya bisa bermanfaat, karena si pemberi  hibah takut hartanya kelak akan jatuh ke tangan ahli warisnya yang tak bisa dipertanggungjawabkan nantinya, dan kelak harta tersebut akan sia-sia.
Jelas hal ini tak sejalur dengan pemikiran kita selama ini, bahwa yang perlu dibatasi adalah wasiat yang tak boleh lebih dari sepertiga, bukan hibah. Padahal hibah dan wasiat juga sama-sama memiliki efek tersendiri bagi para ahli waris.
Oleh sebab itu, dikarenakan beberapa masalah pelik tersebut, penulis mencoba memaparkan beberapa hukum mengenai hibah lebih dari sepertiga menurut perspektif hukum islam.

B.     Rumusan Masalah
  1. Apa Pengertian Hibah?
  2. Sampai Sejauh Manakah Harta Yang Dihibahkan Kaitannya Dengan Ahli Waris?
  3. Apa Esensi Kompilasi Hukum Islam Dalam Membatasi Hibah?
  4. Pengertian Sedekah ?
  5. Dasar Hukum Sedekah ?
  6. Hukum Yang Terkait Dengan Sedekah ?






BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
  1. Pada mulanya kata hibah itu diambil dari kata “hubuuburr riih” artinya “nuruuruhaa” yang berarti perjalanan angin. Dalam perkembangan lebih lanjut dipakai kata hibah dengan maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta atau selainnya.  Di dalam syariat islam, hibah berarti akad yang pokoknya  adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan apapun. Secara umum hibah mempunyai pengertian hal-hal yang meliputi :[1]
a)      Ibraa, yakni menghibahkan utang kepada yang berhutang;
b)      Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan pahala di akhirat;
c)      Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi imbalan.
  1. Pengertian Hibah Menurut Islam
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak “pemberian” baik berupa harta benda maupun yang lainnya. Menurut istilah syara’ ialah:
a)Menurut Mazhab Hanafi adalah memberikan suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu adalah sah milik si pemberi.
b)      Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi tanpa mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama dengan hadiah. Dan apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala maka ini dinamakan sedekah.
c)Menurut Madzhab Hambali, adalah memberikan hak memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui atau, karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian yang mana tidak bersifat wajib,

dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada imbalan.

B. Landasan hukum
  1. Surat Al-Baqarah:195

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. “
Maka untuk itulah, dengan ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk berbuat sunnah dalam arti berbuat kebaikan yaitu berinfak, seperti: sodaqoh, wakaf, hibah, dan lain-lain
  1. Surat Ali-Imran:92
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris. Sedangakan hibah yang di berikan kepada non ahli waris, meskipun dalam kitab-kitab fiqh tak ada batasan  berapapun jumlahnya namun tak menutup kemungkinan seseorang akan menghibahkan seluruh hartanya, yang nantinya akan berakibat membahayakan ahli waris.

C.    Pendapat Para Ulama’ Mengenai Hibah Yang Lebih Dari Sepertiga
  1. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya, bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli waris. [2]
  2. Tetapi Imam Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkiik mahdzab Hanafi mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat di bedakan dalam 2 hal yaitu:  jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum mayoritas pakar hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha’ amsar menyatakan makruh.Sehubungan dengan tindakan rasulullah SAW. Terhadap kasus Nu’man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua terhadap anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadist lain yang redaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain.


  1. Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah bersikap adil diantara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukan maka harus dicabut kembali.
Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnul Khattab pernah mengemukakan  bahwa kembalikan putusan itu diantara sanak keluarga, sehingga mereka membuat perdamaian karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.
  1. Ulama Malikyah menetapkan dalam syarat orang yang yang menghibahkan adalah Ahlan li tabarru’  yaitu orang yang berhak berderma dan bersedekah. Yang dimaksud dengan ahli tabarru’ adalah diantaranya adalah :
a)      bukan seorang isteri. Jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga harta, karena ketika seorang isteri ketika menghibahkan harta melebihi sepertiga harta harus mendapat izin dari suaminya.
b)      bukan orang yang sakit, yang sudah mendekati kematian. Syarat ini berlaku jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga. Jika menghibahkan lebih dari sepertiga maka harus mendapatkan persetujuan ahli waris.

D.    Pengertian Sedekah
Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa Arab shodaqoh yang secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan islam, sedekah diartikan sebagai pemberian yang disunahkan. Tetapi, setelah kewajiban zakat disyariatkan dalam Al-Qur’an sering disebutkan dengan kata shadaqah maka shadaqah mempunyai dua arti. Pertama, shadaqah sunah atau tathawwu’ (sedekah) dan wajib (zakat). Sedekah sunah atau tathawwu’ adalah sedekah yang diberikan secara sukarela (tidak diwajibkan) kepada orang (misalnya orang yang miskin/pengemis), sedangkan sedekah wajib adalah zakat, kewajiban zakat dan penggunaanya telah dinyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an dalam surat At-Taubat ayat 60 yang artinya “Zakat merupakan ibadah yang bersifat kemasyarakatan, sebab manfaatnya selain kembali kepada dirinya sendiri (orang yang menunaikan zakat), juga besar sekali manfaatnya bagi pembangunan bangsa negara dan agama”.
Sedangkan secara syara’ (terminologi), sedekah diartikan sebagai sebuah pemberian seseorang secara ikhlas kepada orang yang berhak menerima yang diiringi juga oleh pahala dari Allah. Contoh memberikan sejumlah uang, beras atau benda-benda lain yang bermanfaat kepada orang lain yang membutuhkan. Berdasarkan pengertian ini, maka yang namanya infak (pemberian atau sumbangan) termasuk dalam kategori sedekah.

E.     Dasar Hukum Sedekah
Sedekah dibolehkan pada waktu dan disunahkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantaranya :[3]
Dalam Al-Qur’an yang artinya : “Barang sapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah Swt. pinjaman yang baik (manafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah Swt. akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS.Al-Baqarah :245) Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah :195)
Dalam As-Sunah yang hadistnya “Barang siapa yang memberi orang lapar, Allah Swt akan memberinya makan dari buah-buah surga. Barang siapa memberi minum orang dahaga, Allah Swt Maha Tinggi akan memberinya minum  pada hari kiamat dengan wangi-wangian yang dicap. Barang siapa yang memberi pakaian orang yang telanjang, Allah Swt akan memakaikan pakaian surga yang berwarna hijau”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

F.     Hukum Yang Terkait Dengan Sedekah
Pada dasarnya sedekah dapat diberikan kepada dan dimana saja tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Namun ada waktu dan tempat tertentu yang lebih diutamakan yaitu lebih dianjurkan pada bulan Ramadhan. Dijelaskan pula dalam kitab Kifayat al-Akhyar, sedekah sangat dianjurkan ketika sedang menghadapi perkara penting, sakit atau berpergian, berada dikota Mekkah dan Madinah, peperangan, haji, dan pada waktu-waktu yang utama seperti sepuluh hari di bulan Dzulhijah, dan hari raya.
Sedekah juga dapat diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, namun ada beberapa kelompok orang yang lebih utama yaitu kepada family yang paling memusuhi, family yang jauh hendaklah didahulukan dari tetangga yang bukan family. Karena selain sedekah, pemberian itu akan saling mempererat hubungan silaturahmi. Selain itu dalam menggunakan cara kita juga harus memilih cara yang lebih baik dalam bersedekah yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi. Hal itu lebih utama dibandingkan terang-terangan.

G.    Harta Yang Paling Utama Untuk Sedekah
Harta yang paling utama untuk di sedekahkan adalah kelebihan dari usaha dan hartanya untuk kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, jika memberikan sedekah dari harta yang masih dikategorikan kurang untuk memenuhi kebutuhan sendiri, lebih baik untuk tidak bersedekah. Dalam hadist disebutkan yang artinya “Sedekah yang paling baik adalah sesuatu yang keluar dari orang kaya dan telah mencukupi kebutuhannya”. (Muttafaq alaih)
Kaya pada hadist diatas tidak berarti kaya dalam materi, tetapi orang yang kaya hati, yakni sabar atas kefakiran. Ada hadist yang menyebutkan “Cukup bagi seseorang dikatakan dosa apabila menghilangkan makanan pokoknya”. (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah). Dengan kata lain sedekah disunahkan bagi seseorang atas kelebihan nafkahnya.

H.    Hadist-Hadist Mengenai Sedekah
Hadist-hadist yang berkenaan dengan sedekah diantaranya adalah sebagai berikut:
             “Bersodaqoh pahalanya sepuluh, memberi hutang (tanpa bunga) pahalanya delapan belas, menghubungkan diri dengan kawan-kawan pahalanya dua puluh dan silaturahmi (dengan keluarga) pahalanya dua puluh empat”. (HR. Al-Hakim)
             “Apabila anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali tiga hal yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) yang mendoakannya”. (HR. Muslim)

I.       Sedekah Yang Tidak Dibolehkan
Sedekah hukumnya dibolehkan selama benda yang disedekahkan itu adalah milik sendiri dan benda itu dari segi zatnya suci dan diperoleh dengan cara yang benar, meskipun jumlahnya sedikit. Maka jika barang itu statusnya milik bersama atau orang lain, maka tidak sah benda itu untuk disedekahkan karena barang yang disedekahkan harus di dasari oleh keikhlasan dan kerelaan dari pemiliknya. Berkaitan dengan ini, maka tidak boleh seorang istri menyedekahkan harta suaminya kecuali ada izin darinya. Tetapi, jika telah berlaku kebiasaan dalam rumah tangga seorang istri boleh menyedekahkan harta tertentu seperti makanan, maka hukumnya boleh tanpa minta izin kepada suaminya terlebih dahulu.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pengertian Hibah adalah memberikan hak memilik sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesame manusia dalam hal kebaikan.
Hibah pada dasarnya memang tidak ada kaitannya dengan kewarisan, karena berdasarkan pelaksanaan sudah jauh berbeda. Hibah diberikan ketika si penghibah masih hidup sedangakan kewarisan dilakukan setelah adanya kematian. Namun dengan adanya permasalahan yang ada, tak menutup kemungkinan seseorang memberikan atau menghadiahkan seluruh hartanya kepada orang lain, yang mana bisa merugikan ahli warisnya kelak.
Esensi Kompilasi Hukum Islam, dalam memberikan Batasan pemberian hibah adalah  baik kepada anak-anaknya sendiri atau kepada selain ahli waris. Jika batasan hibah kepada selain ahli waris karena ada kaitannya dengan kecukupan ahli waris kelak, maka hibah kepada anak-anaknya dibatasi juga untuk rasa keadilan.













DAFTAR PUSTAKA


Ghazali, Abdul Rahman. Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.

Zuhdi, Musjfuk. Studi Islam Jilid III : Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1993.

Jawaz, Yazid bin Abdul Qadir. Sedekah Sebagai Bukti Keimanan dan Penghapus Dosa. tt. Pustaka at-Taqwa. 2009.

Syafe’i, Rahmat. Fiqih Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS,dan Umum. Bandung:CV Pustaka Setia. 2004.




[1]Ghazali, Abdul Rahman. Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010.Hal. 84
[2] Zuhdi, Musjfuk. Studi Islam Jilid III : Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1993. Hal. 83
[3] Jawaz, Yazid bin Abdul Qadir. Sedekah Sebagai Bukti Keimanan dan Penghapus Dosa. tt. Pustaka at-Taqwa. 2009.Hal. 74

KONSEP ISLAMISASI SAINS MENURUT RAJI'IL AL FARUQI


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Ismail Raji’il Al Faruqi
1.      Biografi
Ismail Raji al-Faruqi lahir pada 1 Januari 1921 M, di Jaffa, Palestina, sebelum wilayah ini diduduki Israel (Azra,1996:49). Pendidikan awalnya ditempuh di College des Ferese, Libanon, yang menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa pengantarnya, kemudian di American University, Bairut, jurusan Filsafat. Pada tahun 1941, setelah meraih Bachelor of Arts (BA), ia bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS) Palestina di bawah mandat Inggris. Empat tahun kemudian, karena kepemimpinannya yang menonjol, Faruqi diangkat sebagai gubernur di propinsi Galelia, Palestina, pada usia 24 tahun. Namun, jabatan ini tidak lama diembannya, karena tahun 1947, propinsi tersebut jatuh ke tangan Israel, sehingga ia hijrah ke Amerika. Setahun di Amerika, Faruqi melanjutkan studinya di Universitas Indiana sampai meraih gelar master dalam bidang filsafat, tahun 1949.[1]
Dua tahun kemudian ia meraih gelar master kedua dalam bidang yang sama dari Universitas Harvard. Puncaknya, tahun 1952, Faruqi meraih gelar Ph.D dari Universitas Indiana, dengan disertasi berjudul On Justifying the God: Metaphysic and Epistemology of Value (tentang pembenaran Tuhan,metafisika dan epsitemologi nilai) (Lamya, 1997:xii). Namun, apa yang dicapai ini tidak memuaskannya. Karena itu, ia kemudian pergi ke Mesir untuk lebih mendalami ilmu-ilmu keislaman di Universitas al-Azhar, Kairo (Azra, 1996:49). Pada tahun 1959, Faruqi pulang dari Mesir dan mengajar di McGill, Montreal, Kanada, sambil mempelajari Yudaisme dan Kristen secara intensif. Namun, dua tahun kemudian, 1961, ia pindah ke Karachi, Pakistan, untuk ambil bagian dalam kegiatan Central Institute for Islamic Research (CIIR) dan jurnalnya, Islamic Studies.
Dua tahun di Pakistan, tahun 1963, Faruqi kembali ke Amerika dan mengajar di School of Devinity, Universitas Chicago, sambil melakukan kajian keislaman di Universitas Syracuse, New York. Selanjutnya, tahun 1968, Faruqi pindah dan menjadi guru besar pemikiran dan kebudayaan Islam pada Temple University, Philadelphia. Di sini Faruqi mendirikan Departemen Islamic Studies sekaligus memimpinnya sampai akhir hayatnya, 27 Mei 1986.
Di samping kontribusinya yang besar dalam memperkenalkan studi-studi keislaman di berbagai perguruan tinggi di Amerika dan proyeknya yang terkenal, ‘islamisasi ilmu pengetahuan’ (islamization of knowledge), Faruqi juga aktif dalam gerakan-gerakan keislaman dan keagamaan. Bersama istrinya, Dr. Louis Lamya, ia membentuk kelompok-kelompok kajian Islam, seperti Muslem Student
Association (MSA), American Academy of Religion (AAR), mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Association of Muslem Social Scientist - AMSS), Islamic Society of North America (ISNA), menerbitkan jurnal American
Journal of Islamic Social Sciences (AJISS), dan yang menomental, mendirikan Perguruan Tinggi Pemikiran Islam (The International Institue of Islamic Thought - IIIT).
Selain itu, Faruqi juga duduk sebagai penasehat serta ikut mendesain program studi Islam di berbagai Universitas di dunia Islam, antara lain, di Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Saudi Arabia dan Mesir. Juga di tempat- tempat _solative seperti di Universitas Mindanau, Philipina Selatan, dan Universitas Qum, Teheran, Iran.[2]
2.      Karya-karya Al Faruqi
Faruqi banyak meninggalkan karya tulis. Tercatat tidak kurang dari 100 artikel dan 25 judul buku, yang mencakup berbagai persoalan, antara lain, etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika dan politik.
Di antara bukunya adalah :
a.       Ushûl al-Syahyuniyah fi al-Dîn al-Yahûdi (1963Historical Atlas of
Religion of the World (1974),
b.      Islamic and Culture (1980),
c.       Islamization of Knowledge General Principles and Work plan (1982),
d.      Tauhid Its Implications for Thought and Life (1982), Cultural Atlas of Islam (1986),
e.       Christian Ethics, Trealogue of Abraham Faith, dan Atlas of Islamic Culture and Civilization.

B.     Islamisasi Ismail Raji’il Al Faruqi
Menurut Faruqi, adalah fakta bahwa apa yang dicapai sains modern, dalam berbagai aspeknya merupakan sesuatu yang sangat menakjubkan. Namun, kemajuan tersebut ternyata juga memberikan dampak lain yang tidak kalah mengkhawatirkannya. Akibat dari paradigma yang sekuler, pengetahuan modern menjadi kering, bahkan terpisah dari nilai-nilai tauhid: suatu prinsip global yang mencakup lima kesatuan, yaitu keesatuan Tuhan, kesatuan alam, kesatuan kebenaran, kesatuan hidup dan kesatuan umat manusia. Jelasnya, sains modern telah lepas atau melepaskan diri dari nilai-nilai teologis. Perceraian sains modern dari nilai-nilai teologis ini memberikan dampak negatif.
Pertama, dalam aplikasinya, sains modern melihat alam beserta hukum dan polanya, termasuk manusia sendiri, hanya sebagai sesuatu yang bersifat material dan insidental yang eksis tanpa intervensi Tuhan. Karena itu, manusia bisa memperkosa dan mengeksploitir kekayaan alam tanpa memperhitungkan nilai-nilai spiritualitas.
Kedua, secara metodologis, sains modern ini, tidak terkecuali ilmu-ilmu sosialnya, menjadi sulit diterapkan untuk memahami realitas sosial masyarakat muslim yang mempunyai pandangan hidup berbeda dari Barat.[3]
Sementara itu, keilmuan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan dengan nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya global, para ilmuan muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni dengan melarang segala bentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syariah (fiqh produk abad pertengahan). Mereka menganggap bahwa syariah (fiqh) adalah hasil karya yang telah fixed dan paripurna, sehingga segala perubahan dan pembaharuan atasnya adalah penyimpangan dan setiap penyimpangan adalah sesat dan bid`ah. Mereka melupakan sumber utama kreatifitas, yakni ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya.
Sikap sebagian ilmuan muslim tersebut, pada akhirnya juga menimbulkan pemisahan wahyu dari akal, pemisahan pemikiran dari aksi dan pemisahan pemikiran dari kultur, sehingga menimbulkan stagnasi keilmuan dikalangan. Artinya, dampak negatif yang terjadi dari sikapsikap “keras kepala” sebagian ilmuan Islam sendiri sesungguhnya tidak kalah membahayakannya dibanding apa yang ada dalam sains modern. Kenyataannya, menurut Faruqi, di sekolah, akademi maupun universitas, tidak pernah terjadi seperti sekarang di mana seorang ilmuan muslim begitu berani mengemukakan tesa-tesa yang bisa dianggap tidak Islami, dan tidak sehebat sekarang acuhnya pemuda muslim terhadap agamanya.[4]
Bersamaan dengan itu, sistem dan model pendidikan Islam yang dianggap sebagai ujung tombak kemajuan, justru mendukung dan melestarikan tradisi keilmuan Islam yang stagnan. Menurut Faruqi , model pendidikan masyarakat Islam bisa dipolakan menjadi tiga kategori.
Pertama, Sistem pendidikan tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara sempit, sisi hukum dan ibadah mahdlah, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukan pada model pendidikan salaf di pesantren.
Kedua, sistem pendidikan yang lebih menekankan ilmu-ilmu sekular yang diadopsi secara mentah dari barat, yang dalam konteks Indonesia bisa ditunjukkan pada sistem pendidikan umum. Kedua sistem ini menimbulkan dualisme (split) dalam kepribadian masyarakat muslim. Alumnus pendidikan salaf (pesantren) cenderung bersikap konservatifekslusif dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu modern yang sebenarnya sangat diperlukan, sementara sarjana pendidikan modern cenderung bersikap sekularistik-materialistik dan antagonistik terhadap ilmu-ilmu religius.
Di samping kedua sistem pendidikan tersebut, ketiga, ada sistem konvergensif yang memadukan kedua sistem yang ada. Sistem ini, di samping memberikan materi agama juga memberikan berbagai disiplin ilmu modern yang diadopsi dari barat. Namun, pencangkokan ini ternyata tidak dilakukan di atas dasar filosofis yang benar, tetapi semata hanya diberikan secara bersama-sama, ilmu-ilmu agama dijejerkan dengan ilmu-ilmu umum (seperti yang ada di MAN, STAIN, IAIN dan UIN), sehingga tidak memberikan dampak positif pada mahasiswa. Apalagi kenyataannya, ilmu-ilmu tersebut sering disampaikan oleh dosen yang kurang mempunyai wawasan keislaman dan kemoderanan yang memadai.[5]
Berdasarkan realitas seperti itu, menurut Faruqi, tidak ada cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini dan keilmuan modern barat sekaligus, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan li alalamin, melalui apa yang disebut “islamisasi ilmu” yang kemudian disosialisasikan lewat sistem pendidikan Islam yang integritas.
Di samping itu, Al-Faruqi menggaris­kan 12 langkah yang perlu dilalui untuk mencapai tujuan tersebut diatas. Lang­kah-langkah tersebut ialah:[6]
1)      Penguasaan disiplin modern - prinsip, metodologi, masalah, tema dan perkembangannya
2)      Peninjauan disiplin
3)      Penguasaan ilmu warisan Islam: antologi
4)      Penguasaan ilmu warisan Islam: analisis
5)      Penentuan relevansi Islam yang ter­tentu kepada suatu disiplin
6)      Penilaian secara kritis disiplin modern­, memperjelas kedudukan disiplin dari sudut Islam dan memberi panduan ter­hadap langkah yang harus diambil un­tuk menjadikannya islami
7)      Penilaian secara kritis ilmu warisan Is­lam, perlu dilakukan pembet­ulan terhadap kesalahpahaman.
8)      Kajian masalah utama umat Islam
9)      Kajian masalah manusia sejagat
10)  Analisis dan sintesis kreatif
11)  Pengacuan kembali disiplin dalam kerangka Islam: buku teks universitas
12)  Penyebarluasan ilmu yang sudah diislamkan.
1.      Prinsip Dasar Islamisasi
Untuk membandingkan gagasannya tentang islamisasi ilmu, Faruqi meletakkan pondasi epistemologinya pada “prinsip tauhid” yang terdiri lima macam kesatuan yaitu:
a.       Keesaan (kesatuan) Tuhan, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang menciptakan dan memelihara semesta. Implikasinya, berkaitan dengan pengetahuan adalah bahwa sebuah pengetahuan bukan untuk menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dari realitas absolut (Tuhan), melainkan melihatnya sebagai bagian yang integral dari eksistensi Tuhan. Karena itu, islamisasi ilmu mengarahkan pengetahuan pada kondisi analisa dan sintesa tentang hubungan realitas yang dikaji dengan hukum Tuhan (divine pattern).
b.      Kesatuan ciptaan, bahwa semesta yang ada ini baik yang material, psikis, spasial (ruang), biologis, sosial maupun estetis, adalah kesatuan yang integral. Masing-masing saling kait dan saling menyempurnakan dalam ketentuan hukum alam (sunnatullah) untuk mencapai tujuan akhir tertinggi, Tuhan. Namun, bersamaan dengan itu, Dia juga menundukkan alam semesta untuk manusia, sehingga mereka bisa mengubah polanya dan mendayagunakannya demi kesejahtaraan umat.[7]
Berdasarkan hal ini, dalam kaitannya dengan islamisasi ilmu, maka setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepada-Nya.
Ini berbeda dengan prinsip keilmuan barat, di mana sejak abad 15, mereka sudah tidak lagi berterima kasih pada Tuhan melainkan hanya pada dirinya sendiri dan untuk kepentingannya sendiri. Mereka memisahkan pengetahuan dari prinsip teologis dan agama.
c.       Kesatuan kebenaran dan pengetahuan. Kebenaran bersumber pada realitas, dan jika semua realitas berasal dari sumber yang sama, Tuhan, maka kebenaran tidak mungkin lebih dari satu. Apa yang disampaikan lewat wahyu tidak mungkin berbeda apalagi bertentangan dengan realitas yang ada, karena Dialah yang menciptakan keduanya.
Faruqi merumuskan kesatuan kebenaran ini sebagai berikut:
1)      bahwa berdasarkan wahyu, kita tidak boleh membuat klaim yang paradoksal dengan realitas. Pernyataan yang diajarkan wahyu pasti benar dan harus berhubungan dan sesuai dengan realitas. Jika terjadi perbedaan atau bahkan pertentangan antara temuan sains dan wahyu, seorang muslim harus mempertimbangkan kembali pemahamannya atas teks atau mengkaji ulang data-data penelitiannya.
2)      Bahwa dengan tidak adanya kontradiksi antara nalar dan wahyu, berarti tidak ada satupun kontradiksi antara realitas dan wahyu yang tidak terpecahkan. Karena itu, seorang muslim harus terbuka dan senantiasa berusaha merekonsiliasikan antara ajaran agama dengan kemajuan Iptek.
3)      Bahwa pengamatan dan penyelidikan terhadap semesta dengan bagian-bagiannya tidak akan pernah berakhir, karena polapola Tuhan tidak terhingga. Betapapun mendalam dan banyaknya seseorang menemukan data baru, semakin banyak pula data yang belum terungkap. Karena itu, seorang muslim dituntut bersikap open minded, rasional dan toleran terhadap bukti dan penemuan baru.
d.      Kesatuan hidup. Menurut Faruqi, kehendak Tuhan terdiri atas dua macam:
1)      berupa hukum alam (sunnatullah) dengan segala regularitasnya yang memungkinkan diteliti dan diamati, materi.
2)      berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama. Kedua hukum ini berjalan seiring, senada dan seirama dalam kepribadian seorang muslim. Konsekuensinya, tidak ada pemisahan antara yang bersifat spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani.[8]
e.       Kesatuan manusia. Tata sosial Islam, menurut Faruqi adalah universal, mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Kelompok muslim tidak disebut bangsa, suku atau kaum melainkan umat.[9] Pengertian umat bersifat trans lokal dan tidak ditentukan oleh pertimbangan geografis, ekologis, etnis, warna kulit, kultur dan lainnya, tetapi hanya dilihat dari sisi taqwanya. Meski demikian, Islam tidak menolak adanya klasifikasi dan stratifikasi natural manusia ke dalam suku, bangsa dan ras sebagai potensi yang dikehendaki Tuhan. Yang ditolak dan dikutuk Islam adalah faham ethnosentrisme, karena hal ini akan mendorong penetapan hukum, bahwa kebaikan dan kejahatan hanya berdasarkan ethnisnya sendiri, sehingga menimbulkan berbagai konflik antar kelompok. Kaitannya dengan islamisasi ilmu, konsep ini mangajarkan bahwa setiap pengembangan ilmu harus berdasar dan bertujuan untuk kepentingan kemanusiaan, bukan hanya kepentingan golongan, ras dan etnis tertentu.

C.    Analisis terhadap Konsepsi Ilmu Al Faruqi
Pada dasarnya sernua pelopor ide Islamisasi ilmu, khususnya al-Attas, al-Faruqi dan Nasr, menyakini bahwa ilmu itu bu­kanlah neutral atau bebas nilai. Tujuan usa-ha mereka adalah sama dan konsep Islam­isasi ilmu yang mereka bawa adalah ber­tunjangkan kepada prinsip metafisik, on­tologi, epistemologi dan aksiologi Islam yang berpaksikan konsep tauhid.
Mereka sependapat sebulat suara bah­wa ilmu Barat khususnya ilmu sains kemanu­siaan, sains kemasyarakatan, dan sains alam modern bersandar pada falsafah dan pan­dangan alam sekuler di mana Allah yang Maha Esa telah dipinggirkan. Dalam kerangka ilmu ini, Allah tidak berperan. Mungkin mereka sependapat dengan Aristoteles tentang Tuhan dan penciptaan alam di mana alam ini laksana sebuah jam dan Tuhan umpama pencipta jam tersebut. Set­elah jam itu dicipta, penciptanya tidak mempunyai peranan apa-apa lagi.
Begitu juga, golongan ini mengang­gap bahwa Tuhan tidak lagi mempunyai peran apa-apa setelah Ia mencipta alam yang kini bergerak dengan sendiri mela­lui mekanisme cause dan effect.
Pemikir ini juga sependapat bahwa metodologi ilmu modern ini banyak dipengaruhi oleh metodologi sains alami­ah yang menekankan objektivitas tetapi te­lah melampaui batasan dengan wujudnya golongan berpaham positivistik yang me­nolak segala kenyataan atau hakikat yang tidak dapat dibuktikan secara empirikal.
Dan sudut epistemologi, falsafah yang didukung ini menentang ilmu yang ber­sumberkan wahyu maupun ilham dan cuma menerima akal dan panca indera. Dengan penerimaan teori evolusi Darwin, sains telah mengaibaikan al-Khaliq dan meya­kini bahwa proses alam ini terjadi secara evolusi tanpa Pencipta. Justru itu ilmu modern ini bukannya mengokohkan iman kepada Allah sebagaimana peranan ilmu yang hakiki dalam pandangan Islam, teta­pi sebaliknya merusakkan dan menyesat­kan aqidah umat Islam.
Al-Faruqi memberi penekanan kepa­da transformasi sosial dibanding idealisme Sufi yang memberi perhatian kepada perubahan individu. Dia mengutamakan masyarakat dan negara dibanding individu. ini jelas sekali dan penekanan al-Faruqi kepada ummah.
Oleh karena titik permulaan al-Faru­qi kerap dikritik, maka kita mungkin dapat mengubahnya bermula dengan ilmu warisan Islam. Lagipun mahasiswa dan negara Islam yang mendalami ilmu di Barat yang menjadi tumpuan al-Faruqi pasti sudah diperkenalkan kepada ilmu fardhu ‘ain dasar melalui sistem pendidikan nega­ra asal mereka. Mungkin kita boleh jadi­kan pemahaman tentang falsafah Islamisa­si ilmu sebagai langkah pertama dalam kerangka kerja al-Faruqi.



[1] Ridwan, Kafrawi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta, Ikhtiar Baru Vanhouve, 1995). Hal. 127

[2] Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme Modern hingga Post-Modernisme, (Jakarta, Paramadina, 1996). Hal. 141

[3] Basori, M., Islamisasi Ilmu, dalam HR Pelita, (ed. 24 Nopember 1991, No. XVIII/ 5450). Hal. 75

[4] Ibid. Hal. 76
[5] Hidayat, Kamaruddin & Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektf Filsafat Perenial, (Jakarta, UI Pres, 1995). Hal. 115

[6] Faruqi, Ismael R., Seni Tauhid, terj. Hartono, Yogyakarta, Bentang, 1999). Hal. 50

[7] Faruqi dan Louis Lamya Faruqi, Tauhid Dasar Peradaban Islam, dalam jurnal Ulumul Qur`an, (no. 1/VII/ 1996). Hal. 273

[8] Faruqi, Ismael R., Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, (Bandung, Pustaka, 1995). Hal. 85
[9] Ibid. Hal. 110